• Esai
  • 5 Kabar Baik Seputar Lingkungan pada 2023 yang Perlu Kamu Tahu
Esai

5 Kabar Baik Seputar Lingkungan pada 2023 yang Perlu Kamu Tahu

Di tengah sering dan hebatnya bencana yang melanda Bumi kita, cukup menantang bagi saya untuk menuliskan ulasan kabar baik seputar perubahan iklim dan lingkungan.

PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 mega watt peak (MWp) di Purwakarta, Jawa Barat. (Foto : Foto : Kementerian ESDM)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

 

Oleh : Mahawan Karuniasa, Universitas Indonesia

 

Tahun 2023 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang memecahkan rekor dua tahun berturut-turut.

Bencana terkait perubahan iklim datang silih berganti bak tidak berkesudahan. Misalnya, kekeringan parah di kawasan Tanduk Afrika (Djibouti, Eritrea, Ethiopia, dan Somalia), banjir ekstrem di Libya, hingga kebakaran belasan juta hektare lahan di Kanada. Indonesia turut mengalami kebakaran hutan dan lahan terhebat sejak pandemi, dengan luas area terbakar per Oktober 2023 mencapai hampir sejuta hektare.

Di tengah sering dan hebatnya bencana yang melanda Bumi kita, cukup menantang bagi saya untuk menuliskan ulasan kabar baik seputar perubahan iklim dan lingkungan.

Kendati demikian, saya merasa kita perlu mengingat hal-hal positif yang sudah dicapai umat manusia tahun ini. Harapannya, optimisme kita dalam melestarikan kehidupan di Bumi dapat terjaga.

Berikut ini lima kabar baik seputar perubahan iklim dan lingkungan pada 2023.

1. COP28: awal dari akhir energi fosil

Konferensi iklim tahunan Perserikatan Bangsa Bangsa ke-28 (COP 28) di Uni Emirat Arab selama 30 November – 12 Desember menyepakati bahwa bahan bakar fosil merupakan biang keladi perubahan iklim. Ini adalah pertama kalinya energi fosil secara tegas disebutkan dalam COP.

Suasana pertemuan terakhir COP 28 di Uni Emirat Arab.
(COP 28/Christopher Pike), CC BY-NC-SA

Walhasil, para delegasi COP 28 kemudian menyepakati pentingnya “bertransisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur, dan merata, mempercepat tindakan dalam dekade kritis ini, untuk mencapai net zero pada 2050 sesuai ilmu pengetahuan”. Kesepakatan tersebut adalah buah perdebatan yang panjang, antara negara-negara yang menginginkan “penghentian” ataupun “pengurangan” energi fosil secara bertahap.

COP 28 memang mengundang kontroversi karena diadakan di negara produsen minyak dan gas bumi. Lebih dari 100 ribu delegasi terdaftar, dan 1.300-an di antaranya merupakan perwakilan perusahaan bahan bakar fosil.

Namun, saya melihat sisi terang dari kejadian ini: COP 28 menjadi konferensi yang inklusif. Seluruh peserta, termasuk dari industri yang dianggap “kotor” turut berkontribusi memperbaiki kondisi Bumi.

Oleh-oleh lainnya dari COP 28 adalah aspek keadilan iklim melalui pengesahan Dana Kerugian dan Kerusakan (Dana Loss and Damage). Para delegasi menyepakati pengelolaan dana oleh Bank Dunia, dan sudah ada komitmen pendanaan US$700 juta (Rp10.8 triliun) untuk membantu negara-negara yang paling terdampak krisis iklim.

Baca juga : Kalah dari Sulut United, Nasib Persiba di Ujung Tanduk

2. Target ambisius konservasi global

Tahun 2023 menjadi pembuka bagi pelaksanaan target konservasi global yang disahkan pada penghujung 2022. Pertama kalinya, dalam konferensi biodiversitas PBB ke-15 di Kunming, Cina; dan Montreal, Kanada, perwakilan dunia mengamini perlunya kawasan lindung (protected areas) minimum 30% masing-masing dari total wilayah daratan, perairan darat, laut dan pesisir di setiap negara pada 2030.

Pengesahan Kerangka Kerja Biodiversitas Global di Montreal, Kanada, pada akhir 2022.
(UN Biodiversity), CC BY

Pemenuhan target juga diikuti komitmen bersama untuk mengakhiri subsidi senilai US$500 miliar(Rp7.801 triliun) per tahun yang merusak lingkungan.

Kesepakatan ini bukan pekerjaan gampang, mengingat dunia hanya memiliki waktu enam tahun untuk memenuhi target tersebut. Apalagi, setiap negara berkepentingan menjaga kelangsungan ekonomi mereka sehingga risiko kehilangan biodiversitas masih menghantui.

Indonesia pun menyepakati komitmen ini dengan merumuskan arah pembangunan berkelanjutan yang mengarusutamakan keanekaragaman hayati. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023, Presiden Joko Widodo mengamanatkan para menteri dan lembaga terkait untuk menyiapkan strategi, melakukan pembinaan dan pengawasan aparat negara hingga daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.

3. Babak lanjutan antipolusi plastik

Persoalan pencemaran udara, air, dan kawasan lainnya sudah banyak menjadi agenda global. Pada 2022, dunia menyepakati penerbitan kesepakatan global untuk mengakhiri polusi plastik pada 2040.

Tahun 2023 merupakan waktu penentuan karena di tahun inilah PBB menerbitkan zero draft yang berisikan gagasan dan target dunia untuk dituangkan dalam Perjanjian Plastik Global (The Global Plastics Treaty). Harapannya, perjanjian tersebut dapat disepakati dan berlaku tahun 2024 ini.

4. Pertumbuhan moncer kendaraan listrik

Sejak 2019, pemerintah berupaya mempercepat adopsi kendaraan listrik di masyarakat dengan mengguyur insentif bea masuk hingga insentif biaya pembelian maupun konversi.

Pada 2023, usaha tersebut mulai membuahkan hasil. Penjualan mobil listrik naik pesat hingga 237% dibandingkan 2022. Tren ini diperkirakan berlanjut pada 2024.

Kenaikan tersebut menjadi kabar baik karena jejak emisi kendaraan listrik sebagian besar berada di proses produksi dan pengadaan. Studi juga menyatakan kebijakan pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia berdampak positif bagi perekonomian kita.

Kabar baik lainnya dari sektor ekonomi adalah pengesahan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan ASEAN pada tahun lalu. Kebijakan ini kemudian memicu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merumuskan kembali Taksonomi Hijau. Taksonomi berguna sebagai panduan lembaga keuangan untuk lebih banyak mengucurkan uangnya ke sektor yang benar-benar ramah lingkungan.

Baca juga : Kucing Oren dan Politik Indonesia Akhir-Akhir Ini

5. Tren positif teknologi ramah Bumi

Teknologi hijau merupakan salah satu penopang dunia untuk bertransisi ke kehidupan yang berkelanjutan. Ini mencakup teknologi pemantauan cuaca, pemantauan kualitas udara dan air, bangunan hijau, pengelolaan air, dan sebagainya.

Pada 2023 pasar teknologi hijau terus naik. Kawasan Asia-Pasifik merupakan region tercepat yang mengadopsi teknologi ramah lingkungan.

Indonesia juga merasakan tumbuhnya minat pasar terhadap teknologi hijau. Saya kerap bertemu pengusaha yang lebih memilih menggunakan peralatan ramah lingkungan meskipun ongkosnya lebih mahal, misalnya motor listrik.

Contoh penggunaan teknologi hijau lainnya di Indonesia adalah produksi listrik tenaga surya dari fasilitas terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang dimulai November 2023 lalu. Pembangkit listrik ini merupakan fasilitas terapung terbesar di Asia Tenggara.

Melangkah lebih cepat

Tahun 2023 menjadi landasan bagi banyak kebijakan yang menentukan masa depan Bumi. Perubahan kita ke arah yang lebih baik sangat tergantung bagaimana kebijakan ini dilaksanakan secara cepat, mengingat waktu kita tidak banyak. Dunia membutuhkan partisipasi semua pihak untuk bergerak ke masa depan yang lebih ramah lingkungan.

Pada tahun ini kita mungkin akan menyaksikan kabar-kabar buruk seputar perubahan iklim dan kondisi lingkungan. Namun, di sela persoalan tersebut, kita masih berpeluang melihat tren-tren positif, atau mungkin menjadi bagian di dalamnya.The Conversation

Mahawan Karuniasa, Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia

Conversation
Conversation
The Conversation Indonesia adalah platform media digital nirlaba yang menyebarkan informasi berbasis bukti dan sains bersumber dari dosen dan peneliti. Redaksi Propublika.id menyebarkan gagasan menarik yang berlisensi creative commons (cc) dari portal theconversation.com.
Bagikan
Berikan Komentar