Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Anggi M. Lubis, The Conversation
“Saya senang Alhamdulillah daya saing kita di tahun 2024 naik signifikan. Dan yang saya senang ini mengalahkan Inggris yang berada di rangking 28, juga mengalahkan Malaysia yang berada di peringkat 34, Jepang di peringkat 38, Filipina di peringkat 52, dan Turki di peringkat 53. Kita berada di rangking 27 yang patut kita syukuri. Karena dari sinilah kita tahu di mana kita berada, di posisi mana kita berada.”
Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana negara, Jakarta, Senin 24 Juni 2024.
Jokowi menyebut bahwa kenaikan peringkat Indonesia dalam World Competitiveness Ranking (WCR), laporan yang dikeluarkan oleh IMD, lembaga penelitian dan akademi di Swiss, adalah berkat adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker)
IMD, dengan bantuan institusi lokal, menilai daya saing dengan beberapa indikator yang terbagi menjadi empat golongan performa ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Apa arti laporan ini bagi posisi Indonesia? Apakah betul Indonesia lebih unggul dibandingkan negara lainnya berkat UU Ciptaker?
The Conversation Indonesia menghubungi Krisna Gupta, Senior Fellow dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), untuk mencari tahu mengenai hal ini.
Tak bisa jadi indikasi keunggulan ekonomi
Menurut Krisna, klaim Jokowi bahwa Indonesia memiliki skor lebih tinggi dibanding Jepang dan Inggris memang betul. Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, skor efisiensi bisnis dan efisiensi pemerintahan Indonesia memang lebih tinggi.
WCR pada prinsipnya merupakan survei yang mengukur persepsi dan ekspektasi ahli dan bisnis. Berarti bisa jadi hasil penilaian dalam WCR memang benar dan merupakan sesuatu yang boleh kita banggakan.
Sebagai negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% pada 2023 memang di bawah target pemerintah. Namun, angka ini sudah lebih baik dibandingkan sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (2,35%), Jepang (1,92%), Korea (1,36%), dan Inggris yang di bawah satu persen. Namun, pertumbuhan Indonesia masih di bawah beberapa negara berkembang lain seperti India (7,83%) dan Filipina (5,57%).
“Apakah ini artinya ekonomi Indonesia lebih baik dari yang lain, ya belum tentu seperti itu,” ujar Krisna.
Belum tentu karena Ciptaker
Sejauh pengamatan Krisna, meski pemerintah mengatakan bahwa kenaikan peringkat ini berkat UU Ciptaker, laporan tersebut tidak mengatribusikan aturan berbentuk Omnibus Law ini sebagai alasan kenaikan.
Bahkan, peringkat Indonesia turun pada 2022. Padahal, pada saat itu UU Ciptaker sudah terlaksana dua tahun. Berbagai regulasi turunan beleid itu juga sudah terbit. Ditambah lagi, pemerintahan Jokowi juga sudah merilis sistem perizinan berusaha daring terintegrasi, Online Single Submission (OSS).
Sementara itu, indikator institutional framework Indonesia yang menunjukkan perbaikan tata kelola kelembagaan dalam WCR naik drastis sebanyak 14 peringkat di edisi 2024. Jadi, mungkin ada faktor lainnya selama 2022 ataupun 2023 yang memengaruhi kenaikan ranking tersebut.
“Intinya, sulit untuk mengatribusikan kenaikan ini hanya pada apa yang terjadi di Indonesia apalagi terhadap UU Ciptaker, bisa saja negara lain yg turun,” tutur Krisna.
Perlu diingat, baik Jepang dan Inggris maupun sejumlah negara maju lainnya tengah menghadapi krisis biaya hidup akibat tingginya inflasi. Ini adalah imbas dari berbagai tekanan termasuk pandemi COVID-19 dan gangguan pasokan semenjak serangan Rusia dan Ukraina pada awal 2022.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation