• Esai
  • Muda, Tak Berbeda, Korupsi Jua
Esai

Muda, Tak Berbeda, Korupsi Jua

Politisi berusia muda sering didengungkan sebagai keunggulan dalam politik elektoral. Saat berkuasa, betulkah politisi muda unggul dan bebas dari korupsi?

Ilustrasi uang. Foto oleh Dids: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-tumpukan-muda-uang-6832333/

Oleh: Hirson Kharisma*

Mantan Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas’ud divonis lima tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Samarinda, Kalimantan Timur. Sidang pembacaan vonis dihelat pada hari Selasa (27/9/2022) lalu. Pria yang sering disapa AGM ini dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus korupsi.

“Terdakwa (Abdul Gafur Mas’ud) secara terang meyakinkan bersalah,” ucap Ketua Majelis Hakim Jemmy Tanjung, seperti dikutip oleh sejumlah media massa.

AGM merupakan salah satu bupati termuda di Indonesia. Pada 19 September 2018, dia dilantik sebagai Bupati Penajam Paser Utara (PPU) periode 2018-2023 di umur 31 tahun. Dilihat dari sisi usia, AGM dapat dikatakan mewakili politisi milenial yang duduk di dalam pemerintahan. Seperti kebanyakan kaum milenial, dia aktif di media sosial, seperti Instagram dan TikTok. Beberapa kali kontennya viral di jagad maya, salah satunya memperlihatkan bagaimana dia kebal terhadap sabetan parang. Tak ada hubungannya dengan kemajuan daerah dan kesejahteraan penduduknya.

Identitas politisi berusia muda sering didengungkan sebagai keunggulan dalam politik elektoral. Banyak kontestan politik yang mengklaim dan mencitrakan diri muda sebagai sebuah kelebihan. Apalagi berdasarkan berbagai survey pemilih muda mendominasi suara pemilih. Tak pelak jika para politisi berlomba untuk mendulang suara dengan mencitrakan diri sebagai anak muda.

Politisi muda merupakan angin segar bagi kehidupan demokrasi. Di tengah budaya politik yang feodal dan transaksional oleh para politisi yang itu-itu saja, politisi muda diharapkan dapat membawa perubahan. Anak muda diasumsikan memiliki pemikiran kreatif, progresif, dan masih idealis. Mereka lebih peka terhadap isu-isu kekinian, seperti isu lingkungan, kerentanan pekerja, inklusivitas, dan keadilan sosial.

Politikus muda juga dianggap dapat menumbuhkan rasa optimis terhadap kemungkinan munculnya inovasi baru penyelesaian persoalan publik dengan memanfaatkan keberadaan perkembangan teknologi. Politisi generasi sebelum milenial sering disebut ketinggalan zaman dan banyak kebijakan yang tidak efektif; tidak ada keberlanjutan dalam pembangunan, mengakibatkan pembangunan kita lebih pada nuansa tambal sulam daripada sebuah pembangunan berjangka panjang.

Sayangnya jiwa muda hanya tercermin di permukaan saja. Sampai saat ini belum ada nuansa khusus yang dibawa oleh politisi generasi milenial. Angin segar hanya terlihat pada upaya-upaya marketing politik, tetapi pada aspek politik kebijakan—yang sesungguhnya amat penting bagi kehidupan warga—nyaris tak terlihat. Milenial yang sering mengkritik generasi sebelumnya sebagai generasi korup dan tak efektif, ternyata belum mampu mewarnai politik Indonesia dengan nuansa yang baru. Bahkan banyak yang akhirnya ikut terseret dalam kasus-kasus korupsi, seperti Mantan Bupati PPU di atas.

Baca juga : Minimnya Perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia di Sektor Domestik: Bagaimana Akademisi Hukum dapat Membantu?

Erwin Natosmal Oemar, pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR), menyatakan tren koruptor yang ditangkap KPK semakin memuda. Menurutnya, ada dua variabel utama penyebab tren tersebut. Pertama, kultur politik yang masih menganggap pemberian tidak sah sebagai hal wajar dan kedua, biaya politik yang mahal.

Soal ongkos politik, Kementerian Dalam Negeri pernah menyebut calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 miliar-Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada (Kompas.com, Mahalnya Ongkos Politik, 12/1/2018). Sementara untuk menjadi anggota legislatif seseorang bisa mengeluarkan biaya Rp 1 miliar-Rp 5 milyar. Mahalnya ongkos politik ini yang membuat arena politik didominasi oleh para pemilik modal besar atau orang-orang yang disokong pemodal—tentu saja dengan kesepakatan modal kembali lebih besar ketika yang dimodali menang.

Abdul Gafur Mas’ud. Foto diambil dari website resmi Pemkab Penajam Paser Utara.

Politik uang adalah jalan pintas dalam memobilisasi suara dan mengonsolidasikan kekuasaan dalam arena politik prosedural. Tidak hanya melalui pembelian suara langsung dari pemilih, para politisi berada dalam jerat transaksionalisme dengan partai politik, aliansi partai politik (termasuk penyelenggara pemilu, lembaga survei, dan penegak hukum), dan para pemodal melalui mahar pencalonan, pengamanan kertas suara, uang saksi, serta dana kampanye dan iklan.

Tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses pemilihan menghasilkan kualitas politik dan penyelenggaraan negara yang buruk. Aktor-aktor negara lebih sering menjadi kepanjangan tangan korporasi daripada pelayan rakyat. Pejabat pemerintahan, lembaga legislatif dan partai politik lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya dan para pemodal, daripada kepentingan rakyat. Kekuasaan politik dimanfaatkan untuk memfasilitasi perampokan sumber daya ekonomi, memberi jalan bagi ekspansi bisnis—yang surplus kapitalnya digunakan untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politik untuk kembali melapangkan jalan perampokan.

Apabila politisi-politisi muda yang terjun ke kontestasi elektoral tidak mendobrak cara-cara lama tersebut, maka susah berharap perubahan di negeri ini. Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), anggota Kongres termuda sepanjang sejarah Amerika Serikat mungkin dapat dijadikan inspirasi. Mantan bartender dan pelayan dari New York ini terpilih 2018 lalu pada saat AOC baru berusia 29 tahun. Perspektifnya jelas, dia aktif dalam gerakan pro lingkungan, kesehatan universal, dan isu imigrasi. Dia melakukan pengorganisiran dari akar rumput, bahkan mengetuk pintu ke pintu untuk mengkampanyekan isu-isu yang diperjuangkan.

Baca juga : Pengertian Hukum Pidana: Dasar Hukum dan Konsep Dasar

AOC benar-benar melakukan sesuatu yang sama sekali baru dalam tradisi politik AS, yakni tidak menerima uang dari korporasi, melainkan hanya menerima sumbangan dana dari masyarakat—itu pun setiap penyumbang tidak boleh melebihi 5.000 Dollar AS (setara Rp 77 juta dengan kurs Rp 15.400 per Dollar AS). Slogannya di masa kampanye adalah “Rakyat (people) vs uang (money). Kita punya rakyat, mereka punya uang”. Inilah pelajaran penting dari AOC: jika Anda sungguh-sungguh ingin melawan oligarki, janganlah menerima uang dari mereka!

Jalan yang dipilih memang bukan jalan yang mudah dan singkat. Namun, AOC menjadi contoh nyata bahwa itu bukanlah hal yang mustahil. Pada tahun 1998, anak-anak muda bangsa ini membuktikan sesuatu yang awalnya dianggap tidak mungkin, yakni menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Peristiwa ini bukanlah kerja singkat, tetapi hasil kerja gerakan bertahun-tahun dan keberanian melawan tatanan lama.

Kini, saat gerakan reformasi kembali dikorupsi oleh segelintir orang dan pemodal; saat politisi muda negeri ini tak jauh beda dengan seniornya; adalah saatnya menanam benih dan memupuk jalan panjang perubahan. Kita bisa mulai dengan tak tergiur dengan politik uang, janji manis, dan citra muda para politisi. Kita perlu juga meninjau lebih dalam gagasan, latar belakang, dan rekam jejak mereka. Kesalahan memilih akan berujung sial yang panjang sebab mereka adalah pengatur dan penentu uang pajak yang kita bayar.

*Hirson Kharisma, lulusan fakultas hukum Universitas Padjajaran. Penulis adalah advokat dan pemerhati kebijakan publik yang berdomisili di Balikpapan, Kaltim.

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Kaltim Post pada 4 November 2022. Penulis menerbitkan ulang artikel ini untuk tujuan pendidikan dan menyebarkan gagasan.

Hirson Kharisma
Hirson Kharisma
Lulusan fakultas hukum Universitas Padjajaran. Penulis adalah advokat dan pemerhati kebijakan publik yang berdomisili di Balikpapan, Kaltim.
Bagikan
Berikan Komentar