• Esai
  • Riset: Menelaah Penyebab dan Cara Melawan Korupsi Infrastruktur di Indonesia
Esai

Riset: Menelaah Penyebab dan Cara Melawan Korupsi Infrastruktur di Indonesia

Apa saja faktor pemicu korupsi di industri konstruksi di Indonesia?

Ilustrasi: Suasana jalan di Kabupaten Klungkung, Bali. Infrastruktur yang baik membuat nyaman warga. (Foto: FX)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland

***

SEKTOR konstruksi berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Namun, korupsi yang sering terjadi di industri ini telah menjadi masalah besar di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dalam industri konstruksi, korupsi bisa terjadi di berbagai tahapan proyek dan melibatkan beragam aktor mulai dari pejabat publik, konsultan profesional, hingga pelaku industri lainnya.

Merujuk data dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), potensi kerugian negara akibat korupsi sektor konstruksi pada periode 2012-2022 mencapai Rp138,39 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa pada kurun 2009 – 2015, korupsi sektor konstruksi merugikan negara sekitar Rp202 triliun. Selain itu, tercatat peningkatan 50% kasus korupsi proyek infrastruktur dari 106 kasus pada 2015 ke 167 kasus pada 2018.

Kasus korupsi di sektor konstruksi di Indonesia, misalnya, kasus Perum Jasa Tirta II yang merugikan negara Rp3,6 miliar dan korupsi proyek gedung IPDN Sulawesi Utara yang merugikan negara Rp19,7 miliar.

Dampak korupsi pada sektor konstruksi dapat membahayakan keselamatan publik sebagai pengguna. Runtuhnya sebuah jembatan di Gujarat, India pada 2022 yang menewaskan 135 orang, misalnya, ditengarai akibat kasus korupsi yang melibatkan pemerintah setempat dan pemenang tender yang tak memiliki kapasitas menggarap proyek infrastruktur.

Apa saja faktor pemicu korupsi di industri konstruksi di Indonesia?

Penelitian saya–telah dipaparkan dalam The 5th International Conference on Sustainable Infrastructure pada Oktober 2022–menggunakan studi literatur untuk menggali faktor-faktor penyebab korupsi sektor konstruksi di seluruh dunia. Hasilnya digunakan untuk mensurvei 29 staf dan manajer proyek infrastruktur di Indonesia, 19 dari badan usaha milik negara (BUMN) dan 10 berasal dari perusahaan swasta, demi menelusuri akar perilaku yang merugikan negara dan masyarakat tersebut.

Baca juga: Otorita IKN: Total Investasi di Ibu Kota Baru Capai Rp 47,5 Triliun

Persepsi responden: identifikasi penyebab korupsi

Seiring bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, pembangunan infrastruktur memicu berkembangnya industri konstruksi baik di daerah maju maupun berkembang. Terlebih, dengan adanya Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tengah dibangun, sektor konstruksi semakin menjadi prioritas.

Situasi ini memicu banyak perusahaan konstruksi bersaing satu sama lain untuk memenangkan kontrak menjadi pengembang dalam proses pengadaan barang dan jasa (procurement). KPK menyebutkan suap dalam proses pengadaan barang dan jasa menjadi modus korupsi paling banyak ditangani. Celah suap yang terjadi dapat dilakukan selama tahap perencanaan, proses pengadaan, hingga pelaksanaan konstruksi.

Untuk mengkaji lebih dalam persoalan ini, saya mensurvei staf dan manajer yang mempunyai tanggung jawab menangani suatu proyek atau menjadi staf yang berwenang untuk menyelesaikan suatu proyek konstruksi. Faktor-faktor penyebab korupsi yang menjadi topik dalam kuisioner berasal dari penelitian terkait penyebab korupsi sektor konstruksi di Malaysia pada 2020. Penelitian tersebut merangkum 18 penyebab utama korupsi (lihat tabel) sektor konstruksi dari sejumlah besar penelitian sebelumnya.

Persepsi para responden ini penting untuk melihat kondisi seperti apa yang menyebabkan serta seberapa kuat budaya korupsi mengakar di Indonesia.

Survei menunjukkan bahwa 76% responden setuju bahwa suatu proyek konstruksi mudah dimanipulasi dalam hal penganggaran, detail, gambar desain, dan prosedur pengadaan. Di peringkat kedua, 66% masyarakat sasaran menilai korupsi menjadi budaya yang sulit dihapus secara permanen di industri. Sementara itu, 48% setuju bahwa keserakahan pribadi untuk memiliki uang dalam jumlah besar untuk keperluan pribadi dan kurangnya transparansi dalam organisasi memicu kebiasaan korupsi.

Hubungan antarindustri menciptakan pola aktivitas korupsi. Ini tercermin dari bagaimana 31% responden beranggapan bahwa kondisi lingkungan yang rumit dan sulit diubah, faktor persaingan antarpenyedia jasa konstruksi, dan hubungan kerja sama antarperusahaan menjadi akar dari terciptanya perilaku korup.

Dalam pandangan responden, jumlah uang yang mungkin didapatkan dari proyek (24%) dan rumitnya perizinan (21%) turut menjadi pemantik korupsi.

Proses pengawasan dan sanksi juga menjadi alasan di balik membudayanya korupsi di sektor konstruksi di Indonesia. Sekitar 17% responden melihat kurangnya pengawasan proyek konstruksi, terutama di daerah terpencil dan dengan tingkat pendapatan yang rendah, memudahkan terjadinya korupsi. Sanksi atau hukuman diperlukan untuk mencegah korupsi, tapi 14% responden berpendapat bahwa aspek sanksi yang tidak memadai justru menjadi biang kerok.

Di luar dari 18 faktor yang dituangkan dalam survei, 3% responden menyatakan bahwa proses korupsi di Indonesia erat berkaitan dengan rendahnya kemampuan pengelolaan keuangan, penggunaan proyek sebagai sumber pendanaan partai politik, kebutuhan pribadi, dan kurangnya pemahaman agama. Faktor di luar hipotesis seperti tujuan politik perlu dipelajari lebih lanjut untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam terhadap permasalahan ini.

Cara mengatasi korupsi di dunia konstruksi

Investigasi pada penelitian sebelumnya menyatakan banyak tindakan individu atau organisasi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi. Hasil penelitian saya turut memberikan rekomendasi dari para responden selaku pihak internal mengenai langkah-langkah apa saja yang perlu memberantas korupsi sektor korupsi.

Pertama, responden menyepakati pentingnya penegakan pengawas internal pada perusahaan konstruksi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menggandeng ahli dari bidang anti-korupsi atau praktisi lain yang berpengalaman dalam mencegah korupsi.

Poin ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pakar bidang korupsi berperan untuk mengembangkan edukasi kepada staf yang berwenang pada pekerjaan konstruksi, mulai dari staf pada tingkat paling bawah, sampai eksekutif perusahaan, dalam menegakkan karakter integritas anti-korupsi.

Namun, edukasi ini penting tidak hanya untuk pekerja konstruksi, tetapi juga pemerintah. Sebab, sebuah studi menyatakan bahwa banyak negara masih mengalami kerugian akibat korupsi karena pemerintah dan partai politik sebagai pembuat kebijakan ternyata masih bersifat korup.

Kedua, pemilihan auditor dan teknisnya perlu menjadi perhatian penting agar tidak seperti kasus-kasus penipuan dan manipulasi laporan keuangan. Perkembangan subkontraktor pun harus masuk ke dalam pelaporan ini. Sebab, banyak perusahaan yang mencatat pembukuan yang melebihi kinerja riil proyek.

Sistem pengendalian dan pelaporan harus terintregasi ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dengan staf yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di proyek konstruksi agar mampu membaca kemungkinan adanya manipulasi.

Ketiga adalah transparansi. ICW mengeluarkan dokumen berjudul “Indonesia dan Tender Infrastruktur 2020” pada April 2022 terkait sejauh mana data tender infrastruktur dapat dianalisis untuk indikator red flag ICW. Laporan tersebut merekomendasikan perlunya ketersediaan data, keterbukaan data, dan kualitas data proyek-proyek infrastruktur.

Salah seorang karyawan menyebutkan:

Sejatinya, owner harus memegang penuh atas perusahaannya, dalam hal ini adalah rakyat. Namun kenyataannya, kebanyakan posisi tertinggi dari suatu BUMN terlibat korupsi yang membuat cabang-cabangnya melakukan hal yang sama. Untuk itu, diperlukan transparansi atas beberapa hal penting. Sehingga owner (rakyat) ikut andil dalam menjaga ekosistem dari suatu perusahaan (BUMN).

Pengawasan oleh pihak swasta dan masyarakat, dan bukan pemerintah, misalnya, bisa mewujudkan transparansi ke publik ini. Sebagai contoh, publik seharusnya dapat melihat proses tender dengan mengadopsi proses seleksi CPNS yang penilaiannya dapat dipantau secara langsung. Sayangnya, dokumen lelang dan kontrak masih dipahami penyelenggara pengadaan sebagai dokumen tertutup karena dianggap mengandung rahasia perusahaan.

Terakhir, digitalisasi pengawasan merupakan salah satu jawaban dari responden pada penelitian ini untuk menjadi bagian dari mitigasi korupsi. Saat ini, Indonesia sudah menjalankan hal tersebut, melalui e-procurement. Namun, belum ada spesifikasi lembaga dan teknis yang digunakan dalam proses pengawasan sistem yang digunakan.

Perlu adanya lembaga khusus yang memiliki wewenang dalam pengawasan pengadaan barang dan jasa, terutama di sektor konstruksi yang memiliki anggaran besar tiap pekerjaan. Pengawasan yang dilakukan tentu berawal dari perizinan, pra-, proses dan pascatender, hingga berujung pada pengawasan proses dan hasil konstruksi.

Hal-hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat korupsi saat proses konstruksi akan berdampak pada buruknya kualitas bangunan dan berujung pada terancamnya keselamatan manusia yang memanfaatkan fungsi bangunan.The Conversation

Conversation
Conversation
The Conversation Indonesia adalah platform media digital nirlaba yang menyebarkan informasi berbasis bukti dan sains bersumber dari dosen dan peneliti. Redaksi Propublika.id menyebarkan gagasan menarik yang berlisensi creative commons (cc) dari portal theconversation.com.
Bagikan
Berikan Komentar