• Sastra
  • ARSIP AA NAVIS: Kesusasteraan Dihukum Karena Pengarang Tidak Punja Kekuatan Formil
Sastra

ARSIP AA NAVIS: Kesusasteraan Dihukum Karena Pengarang Tidak Punja Kekuatan Formil

AA Navis mempertanyakan kasus pengarang Kipanjikusmin yang dibawa ke meja hijau lantaran menulis cerpen berjudul "Langit Makin Mendung". Arsip Kompas, 6 Oktober 1970.

Arsip Kompas – Selasa, 6 Oktober 1970, Halaman 3: "Kesusasteraan Dihukum Karena Pengarang Tidak Punja Kekuatan Formil" oleh A. A. Navis.

Catatan redaksi: Ini adalah arsip yang dikumpulkan kerabat kerja Propublika.id. Tulisan AA Navis ini kami tulis ulang sesuai dengan ejaan yang berlaku saat tulisan terbit, yakni 6 Oktober 1970. Kami hanya memperbaiki “di” sebagai kata depan yang dalam naskah asli disambung. Itu kami lakukan untuk memudahkan pembaca memahami tulisan. Selebihnya, ejaan dan salah ketik kami pertahankan sesuai naskah asli.

AA Navis mempertanyakan kasus pengarang Kipanjikusmin yang dibawa ke meja hijau lantaran menulis cerpen berjudul “Langit Makin Mendung”.

Arsip Kompas – Selasa, 6 Oktober 1970, Halaman 3

Kesusasteraan Dihukum Karena Pengarang Tidak Punja Kekuatan Formil

Oleh A. A. Navis

APABILA Pengadilan di Djakarta mengetokkan palunja atas perkara Langit Makin Mendung (LMM): jang telah 2 tahun menghubungkan dunia kesusasteraan kita, maka suatu penilaian sedjarah akan menimbulkan suatu senjum getir bagi generasi mendatang.

Apapun matjam putusan Pengadilan—bebas ataupun dihukum setjara maximal—tidaklah ada suatu hal jang dapat dibanggakan oleh pihak manapun. Karena betapapun adilnja timbangan Hakim, namun dalam perkara jang abstrak ini, unsur2 subjektifitas zaman kinilah jang paling menentukan. Lain zaman akan menjebabkan lain pertimbangan, dan putusan Hakim akan berbeda pula terhadap perkara jang serupa.

“Man Rabbuka” jang seliar “L. M. M.”

Hal ini tidak mustahil, karena sajapun pernah menulis tjerpen jang sama “liar”nja dengan tjerpen “LMM” jang saja tulis tahun 1957 dengan djudul “Man Rabbuka”.

Reaksi terhadap imadjinasi saja jang liar itu djika dibandingkan reaksi terhadap imadjinasi Kipandjikusmin dapat menarik suatu kesimpulan, bahwa masjarakat dan organik pemerintah di masa 13 tahun jang lalu adalah lebih supel dan lebih dewasa. Tidak ada kesatuan2 pemuda jang mengobrak-abrik kantor redaksi, tidak ada Djaksa jang mebreidel dan menuntut, dan tidak ada Menteri Agama jang mengutuk. Reaksi jang saja dapati hanjalah, seorang ulama Zainal Abidin Djambek, menemui saja dengan baik2. Ia mengadjak saja berdiskusi. Dan apa jang dikatakannja adalah jang benar, maka keliaran imadjinasi saja dalam menulis kemudiannja mendjadi sedjalan dengan pandangan agama jang saja anut. Dan kemudian saja menulis sebuah tjerpen jang berdjudul “Sebuah Wawantjara”, jang djuga mentjeritakan sorga dan para nabi2.

Akibat2nja

APABILA mas’alah2 penghukuman kesusasteraan jang sedemikian berlanjut2, maka akibat2nja akan banjak sekali.

Jang pertama: bahwa dunia kesusasteraan Indonesia akan mendjadi kerdil oleh akibat2 tekanan fisik dari organik Pemerintahan sendiri, baik dari pihak kedjaksaan ataupun Departemen Agama.

Jang kedua: Kepemimpinan Islam akan menimbulkan ketjurigaan2 jang tak perlu, sehingga dakwah Islamiah didjegal sendiri oleh tidakan2 jang tidak simpatik ini.

Jang ketiga: Islam sebagai agama akan merupakan suatu kekuasaan diktatur jang akan senantiasa menghalang2i pengembangan dan modernisasi umat Islam, karena sikap2 jang kian menjempit.

Baca juga: ARSIP Remy Sylado: Supratman “Indonees Indonees”, dan Kasus Hak Ciptanya

Hal jang ketiga ini, adalah tanggung djawab dari Menteri Agama, jang nantinja akan menentukan fatwa2 jang berkekuatan hukum formil dan akan mendjebeloskan setiap orang jang berpikir lain dari pada pendapat Menteri Agama RI. Alasan saja dalam hal ini ialah bahwa kalimat2 jang tadjam dari statemen Menteri Agama jang mengatakan: “(barang siapa jang menurut Menteri Agama)…… penghinaan jang luar biasa itu dilontarkan oleh penulis kepada dzat Tuhan Seru sekalian Alam, para Nabi, terutama Nabi Muhammad saw, agama Islam, para Malaikat, para Kiayi/Ulama, Pantjasila dan UUD 45 dalam hal mana dengan terang2an penulis telah melanggar hukum hukum agama dan Undang2 Negara, di mana kemudian sementara ummat Islam atau siapa saja orangnja jang dengan rela memberi maaf kepada penulis, maka sementara ummat Islam atau siapa sadja orangnja jang menjerupai itu, telah mengindjak2 Hukum Allah dan Hukum Negara”.

Maka berdasarkan statemen ini telah menetapkan:

  1. Setiap orang jang mau memaafkan kesalahan ataupun kechilafan, bahkan kebodohan seseorang dalam mengamalkan agamanja, harus pula dihukum kedalam pendjara.
  2. Bahwa setiap ulama ataupun orang jang berpredikat ulama samalah nilainja dengan Tuhan, Nabi, Malaikat, Pantjasila dan UUD 45 meskipun ulama atau orang jang berpredikat ulama itu melakukan skandal2 jang busuk.
  3. Bahwa analog lainnja, dapat berkata; bahwa setiap orang/jg menghina Islam lalu mengingkarinja dan berpindah keagama lain, dihukum menurut Undang2 Negara.
  4. Para Djaksa setempat, seperti jang sering terdjadi di Medan, akan mendjadi penegak hukum federalistis dengan membreidel penerbitan2 jang diterbitkan oleh daerah lain, seperti Madjalah Sastra ataupun buku2 Isa di Venus. Dan kemudiannja tentu akan timbul pertanjaan2 dalam hati setiap orang, apakah, hukum di Indonesia ini tidak sama lagi?

 

Baca juga: ARSIP TULISAN GUS DUR: Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia

Tapi mas’alah intinja bukanlah hal2 jang tersebut. Mas’alah intinja ialah: bahwa pengarang2 Indonesia tidak mempunjai kekuatan formil, dan karenanja setiap pedjabat Pemerintah akan berhak berlantjang kata dan berlantjang tangan. Dan setiap pengarang jg pengetjut, tjepat2lah berpindah ke djabatan jang berpredikat jang mempunjai kekuatan formil.

***

ALI AKBAR NAVIS (Pengarang Islam, kelahiran Padang Pandjang ini, mulai terkenal sedjak tahun 1955 dengan kumpulan tjeritanja “Robohnja Surau Kami” jang melukiskan konflik djiwa keagamaan dalam menghadapi soal2 duniawi. Kini selain menulis di koran2, ia aktif dalam usaha mereka merehabilitasi Perguruan INS di Kajutanam.

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi dan kisah warga yang suaranya jarang mendapat tempat di media massa. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar